Ketika Impian Datang Disertai Harapan
Karya: Risma Nurfitri
“Aduh! Mampus nih udah jam
berapa! Emak Rara telat! Buru gesit!” Teriak gadis berambut gelombang itu. Raut
wajahnya khawatir seakan dirinya ingin dikurban untuk Hari Raya Idul Adha.
Sedangkan tak jauh dari lokasi
tersebut terdengar suara…
“Papi! Mami! Ana telat nih!
Berangkat dulu yah! Muachhh!” Teriakan gadis berambut keriting tersebut.
“Woy! An! Lo telat juga? Bareng
gue yuk, emak gue setaun nih dandannya.” Sapa seseorang di sebelah rumah
tersebut.
“Rara? Lo telat juga? Yes!”
Balas Ana.
“Ayok dah buruan, kok nih anak
satu telat malah seneng dah, aneh. Emak! Rara berangkat sama Ana aja yah!
Wassalamualaikum!” Teriak Rara.
***
“Gue ngebayangin gimana tampang
bu Ngasiyah pas kita sampai sekolah nanti, ‘Impian! Harapan! Kenapa kalian
berdua bisa telat?!’” Ana terkekeh membayangkannya.
“Ya gue sih siap-siap aja, udah
siap siaga kuping gue buat dijewer bu Ngasiyah.” Gumam Rara.
“Iya, apalagi kita telat
setengah jam gini, masih santai pula jalannya…” Kata Ana.
Butuh beberapa waktu hingga Rara
sadar, “Oh iya! Bodoh! Kita telat setengah jam gilak! Wah parah!”
Ana dengan entengnya berkata,
“Tenang aja Ra, itu sekolah udah di depan.”
***
Tetapi apa yang mereka tahu
adalah apa yang terjadi selanjutnya adalah mereka terkena hukuman. Berdiri di
tengah lapangan. Mengangkat salah satu kaki mereka. Dengan kedua tangan
menjewer telinga mereka masing-masing.
“Gue ganyangka An, ternyata lo
udah langganan telat yah. Sampe bu Ngasiyah apal.” Gumam Rara.
“Baru tau lo? Gue mah udah biasa
diteriakin ‘Impian! Telat lagi?!’. Dan tebakan gue, lo baru pertama kali telat
ya Ra? soalnya gue gak pernah ngeliat lu dihukum untuk mendampingi gue kayak
sekarang.” Kekeh Ana.
“Yap! Bener banget. Baru pertama
kalinya gue dengar bu Ngasiyah ngomel ‘Harapan! Sekarang kamu jadi
dayang-dayangnya Impian yang tukang telat?!’” Tawa Rara.
“Kenapa sih nama lo Harapan,
Ra?” Tanya Ana tiba-tiba.
“Kenapa juga nama lo Impian,
An?” Rara malah bertanya balik.
“yeh! Gue duluan yang nanya!”
Omel Ana.
“Ya, karena buat nyokap gue, gue
itu harapannya, harapannya untuk ketemu sama bokap gue lagi. Nah elo?” Jawab
Rara.
“Kalo gue ya karena gue itu
impian nyokap dan bokap gue selama ini. Eh tunggu, emang bokap lo kemana?”
Tanya Ana ingin tahu.
“Bokap gue bukan orang sini, An.
Gue juga belum pernah ketemu bokap gue. Ya entahlah.” Jawab Rara murung.
“Jadi lo itu bule dong? Gue gak
nyangka! Asli! Logat lo itu loh!” Tanya Ana.
“Bisa dibilang gitu sih. Kenapa?
Gue emang gak ada nampang dan ciri orang bule bro. Udah ah stop ngomongin
gituan. Ohiya An, pas lo udah besar nanti, lo mau jadi apa?” Ucap Rara.
“Gue? Gue pengen jadi motivator.
Lo, Ra?”
“Kalo gue pengen jadi pemimpin
yang sukses, yang bisa menolong orang-orang yang kurang beruntung.”
“Asik, mulia juga lo ternyata
Ra.”
“Baru tau lo?”
“Tapi terinspirasi dari nama
kita berdua yah, gue pengen-” Ucapan Ana terpotong oleh Rara.
“Pengen apa? Bermimpi dan
berharap?”
“Ya, gue pengen memotivasi orang
supaya mereka gak putus asa.”
“Jangan pernah takut bermimpi, dan jangan pernah berhenti
berharap? Gue juga mau kali.”
“Yap! Bener banget! Nama kita cocok banget yah!”
“Yayayaya! Eh, tuh bu Ngasiyah manggil!”
***
Tanpa mereka sadari, sejak saat
itu mereka menjadi akrab. Layaknya dua orang sahabat. Mereka dipertemukan oleh
suatu kejadian unik dan tidak layak diingat, tapi itulah yang terjadi, sudah
tercoret dengan tinta di atas kertas takdir mereka. Mereka juga disatukan oleh
nama mereka sendiri, anak-anak sering memanggil mereka ‘Impian dan Harapan’.
Semuanya baik-baik saja hingga…
***
“Ana! Lo tau gak?” Rara
berteriak histeris menghampiri Ana.
“Nggalah, lo belum cerita.”
“Bokap gue akhirnya nge-contact gue dan nyokap!”
“Ciyus? Enelan? Trus?”
“Terus………” Rara menggigit
bibirnya.
“Terus apa?” Tanya Ana
penasaran.
“Terus gue dan nyokap bakal
pindah ke tempat bokap.” Jawab Rara murung.
“Bagus dong! Kenapa harus
murung?”
“Bagus apanya! Bokap gue itu di
Detroit An, itu artinya gue bakal pindah dari Indonesia, dan itu artinya gue
sama lo pisah, gabisa curhat-curhatan lagi.”
“Maksud lo, Detroit, USA?
Yaampun! Itu jauh Ra. Tapi lo gak perlu murung Ra, kita kan tetep bisa keep in touch, kita bisa skype-an, dan lain-lainkan. Tenang.”
“Apa jadinya harapan tanpa
impian, dan impian tanpa harapan, An?”
“Ya gue berharap sesuatu dapat
bertahan diantara impian dan harapan itu Ra. Yang jelas jangan sampai mereka
berdua lupa satu sama lain ra.”
“Gaakan! Dah, gue pergi dulu ya.
Jangan lupain gue An.”
Pelukan itu mungkin yang
terakhir yang dapat dilakukan kedua sahabat itu, atau mungkin tidak.
***
9 tahun kemudian…
“Yap, anda berbicara dengan
Harapan disini. Ya benar, saya direktur dari yayasan ‘Impian dan Harapan’. Oh
iya saya ingin. Ya pak benar sekolah kami membutuhkan seorang motivator untuk
acara minggu ini pak. Sangat membutuhkannya pak, anak-anak kurang beruntung itu
sangat perlu motivasi pak. Beasiswa memang membantu, tapi motivasi akan lebih
membantu lagi. Oke, baik pak.”
Di sisi lainnya…
“Ya, Impian? Ya pak, anda sedang
berbicara dengan Impiannya sendiri. Ada apa pak?. Minggu ini?. Oke pak, saya
bisa. Dimana? Yayasan ‘Impian dan Harapan’? Lucu, ada nama saya disana. Baik
pak. Materi kita apa pak?. Baiklah saya telah mendapatkan idenya pak.
Terimakasih atas pujiannya pak, saya hanya berusaha menjadi seorang motivator
yang profesional pak. Baik pak. Wassalamualaikum.”
***
“Yap, anak-anak, apakah kalian
tahu apa yang akan terjadi ‘Ketika Impian Datang Disertai Harapan’?”
Rara mendengar suara yang sangat
dikenalnya. Suara sahabatnya. Apakah mungkin? Terbersit di pikirannya, apakah
Ana telah menjadi seorang motivator? Dan sekarang menjadi motivator di acara
sekolah yayasan amal miliknya itu?
***
“Yap benar, Impian dan Harapan
adalah dua kata yang saling memperngaruhi satu sama lain.” Ana mengakhiri acara
motivasinya hari ini.
Ana tidak yakin, tetapi ia
mendengar bahwa memilik yayasan itu adalah Harapan. Apakah itu Harapan-nya?
Apakah mungkin ia bertemu lagi dengan Rara? Ia telah tidak dapat mengkontak
Rara lagi sejak 2 tahun yang lalu, entah mengapa. Akhirnya Ana bertekad,
mencari tahu apakah pemilik yayasan itu Harapan yang ia kenal atau tidak.
***
“Harapan? Rara?” Panggil Ana
ketika melihat siluet seorang wanita sukses beberapa meter di depannya.
***
Rara tidak mungkin salah dengar,
ia mendengarnya. Suara milik Impian, Ana. “Ana? Impian?” gumamnya.
***
Ana tersenyum, itu Rara-nya.
“Ra! Gila lo udah sukses yah sekarang! Ganyangka gue bakal ketemu lo lagi!”
“Ana? Lo beneran Ana? Astaga!
Ciee, mimpi lo udah jadi kenyataan yah!”
“Mimpi lo juga kali! Impian gue
gabakal jadi kenyataan tanpa harapan yang elo berikan ke gue Ra.”
“Gue juga An!”
--THE END--
Thanks for reading!
I hope you'll like it.
xoxo,
-Risma
No comments:
Post a Comment