Risma's few words

Please visit http://www.wattpad.com/Rismafebst for other story from this blog's owner.


As long as I know. There is two different story in our life. One is dream, and other is reality.

Dream. Everyone have, I mean, everyone must have a dream. It's like the goal of our life. What we are fighting for. What we are dying for. But sometimes, a dream can be hard and hurt. It's depend on reality.

Reality. This is what people scare about. The truth. What we are living now. But you know what? Reality can be better than our dream as long as we are never give up on it. So yeah, it's depend on are we believe in our dream or not.

But in here, I'm gonna show you that we can have both of them. Yeah, you probably right. This is why this page called 'a place for dream and reality'.

How? You may ask?

I'll answer you with 'do you know how much word have a power of you? how a single story can change you?'

So, I, Risma as this blog's owner, will write you that story.

And I will be grateful if you read this. Thank you to waste your time reading my story. I really appreciate it.

Friday, July 12, 2013

Ketika Impian Datang Disertai Harapan

Ketika Impian Datang Disertai Harapan
Karya: Risma Nurfitri

Liat ini cerpen bekas tugas lama di draft. Coba aja post di sini. Enjoy and happy reading, guys and gals!

Dedicated to Chesa: Masih inget cerita ini ces?



                “Aduh! Mampus nih udah jam berapa! Emak Rara telat! Buru gesit!” Teriak gadis berambut gelombang itu. Raut wajahnya khawatir seakan dirinya ingin dikurban untuk Hari Raya Idul Adha.
                Sedangkan tak jauh dari lokasi tersebut terdengar suara…
                “Papi! Mami! Ana telat nih! Berangkat dulu yah! Muachhh!” Teriakan gadis berambut keriting tersebut.
                “Woy! An! Lo telat juga? Bareng gue yuk, emak gue setaun nih dandannya.” Sapa seseorang di sebelah rumah tersebut.
                “Rara? Lo telat juga? Yes!” Balas Ana.
                “Ayok dah buruan, kok nih anak satu telat malah seneng dah, aneh. Emak! Rara berangkat sama Ana aja yah! Wassalamualaikum!” Teriak Rara.


***

                “Gue ngebayangin gimana tampang bu Ngasiyah pas kita sampai sekolah nanti, ‘Impian! Harapan! Kenapa kalian berdua bisa telat?!’” Ana terkekeh membayangkannya.
                “Ya gue sih siap-siap aja, udah siap siaga kuping gue buat dijewer bu Ngasiyah.” Gumam Rara.
                “Iya, apalagi kita telat setengah jam gini, masih santai pula jalannya…” Kata Ana.
                Butuh beberapa waktu hingga Rara sadar, “Oh iya! Bodoh! Kita telat setengah jam gilak! Wah parah!”
                Ana dengan entengnya berkata, “Tenang aja Ra, itu sekolah udah di depan.”

***

                Tetapi apa yang mereka tahu adalah apa yang terjadi selanjutnya adalah mereka terkena hukuman. Berdiri di tengah lapangan. Mengangkat salah satu kaki mereka. Dengan kedua tangan menjewer telinga mereka masing-masing.
                “Gue ganyangka An, ternyata lo udah langganan telat yah. Sampe bu Ngasiyah apal.” Gumam Rara.
                “Baru tau lo? Gue mah udah biasa diteriakin ‘Impian! Telat lagi?!’. Dan tebakan gue, lo baru pertama kali telat ya Ra? soalnya gue gak pernah ngeliat lu dihukum untuk mendampingi gue kayak sekarang.” Kekeh Ana.
                “Yap! Bener banget. Baru pertama kalinya gue dengar bu Ngasiyah ngomel ‘Harapan! Sekarang kamu jadi dayang-dayangnya Impian yang tukang telat?!’” Tawa Rara.
                “Kenapa sih nama lo Harapan, Ra?” Tanya Ana tiba-tiba.
                “Kenapa juga nama lo Impian, An?” Rara malah bertanya balik.
                “yeh! Gue duluan yang nanya!” Omel Ana.
                “Ya, karena buat nyokap gue, gue itu harapannya, harapannya untuk ketemu sama bokap gue lagi. Nah elo?” Jawab Rara.
                “Kalo gue ya karena gue itu impian nyokap dan bokap gue selama ini. Eh tunggu, emang bokap lo kemana?” Tanya Ana ingin tahu.
                “Bokap gue bukan orang sini, An. Gue juga belum pernah ketemu bokap gue. Ya entahlah.” Jawab Rara murung.
                “Jadi lo itu bule dong? Gue gak nyangka! Asli! Logat lo itu loh!” Tanya Ana.
                “Bisa dibilang gitu sih. Kenapa? Gue emang gak ada nampang dan ciri orang bule bro. Udah ah stop ngomongin gituan. Ohiya An, pas lo udah besar nanti, lo mau jadi apa?” Ucap Rara.
                “Gue? Gue pengen jadi motivator. Lo, Ra?”
                “Kalo gue pengen jadi pemimpin yang sukses, yang bisa menolong orang-orang yang kurang beruntung.”
                “Asik, mulia juga lo ternyata Ra.”
                “Baru tau lo?”
                “Tapi terinspirasi dari nama kita berdua yah, gue pengen-” Ucapan Ana terpotong oleh Rara.
                “Pengen apa? Bermimpi dan berharap?”
                “Ya, gue pengen memotivasi orang supaya mereka gak putus asa.”
“Jangan pernah takut bermimpi, dan jangan pernah berhenti berharap? Gue juga mau kali.”
“Yap! Bener banget! Nama kita cocok banget yah!”
“Yayayaya! Eh, tuh bu Ngasiyah manggil!”

***

                Tanpa mereka sadari, sejak saat itu mereka menjadi akrab. Layaknya dua orang sahabat. Mereka dipertemukan oleh suatu kejadian unik dan tidak layak diingat, tapi itulah yang terjadi, sudah tercoret dengan tinta di atas kertas takdir mereka. Mereka juga disatukan oleh nama mereka sendiri, anak-anak sering memanggil mereka ‘Impian dan Harapan’.
                Semuanya baik-baik saja hingga…

***

                “Ana! Lo tau gak?” Rara berteriak histeris menghampiri Ana.
                “Nggalah, lo belum cerita.”
                “Bokap gue akhirnya nge-contact gue dan nyokap!”
                “Ciyus? Enelan? Trus?”
                “Terus………” Rara menggigit bibirnya.
                “Terus apa?” Tanya Ana penasaran.
                “Terus gue dan nyokap bakal pindah ke tempat bokap.” Jawab Rara murung.
                “Bagus dong! Kenapa harus murung?”
                “Bagus apanya! Bokap gue itu di Detroit An, itu artinya gue bakal pindah dari Indonesia, dan itu artinya gue sama lo pisah, gabisa curhat-curhatan lagi.”
                “Maksud lo, Detroit, USA? Yaampun! Itu jauh Ra. Tapi lo gak perlu murung Ra, kita kan tetep bisa keep in touch, kita bisa skype-an, dan lain-lainkan. Tenang.”
                “Apa jadinya harapan tanpa impian, dan impian tanpa harapan, An?”
                “Ya gue berharap sesuatu dapat bertahan diantara impian dan harapan itu Ra. Yang jelas jangan sampai mereka berdua lupa satu sama lain ra.”
                “Gaakan! Dah, gue pergi dulu ya. Jangan lupain gue An.”
                Pelukan itu mungkin yang terakhir yang dapat dilakukan kedua sahabat itu, atau mungkin tidak.

***

9 tahun kemudian…

                “Yap, anda berbicara dengan Harapan disini. Ya benar, saya direktur dari yayasan ‘Impian dan Harapan’. Oh iya saya ingin. Ya pak benar sekolah kami membutuhkan seorang motivator untuk acara minggu ini pak. Sangat membutuhkannya pak, anak-anak kurang beruntung itu sangat perlu motivasi pak. Beasiswa memang membantu, tapi motivasi akan lebih membantu lagi. Oke, baik pak.”

Di sisi lainnya…

                “Ya, Impian? Ya pak, anda sedang berbicara dengan Impiannya sendiri. Ada apa pak?. Minggu ini?. Oke pak, saya bisa. Dimana? Yayasan ‘Impian dan Harapan’? Lucu, ada nama saya disana. Baik pak. Materi kita apa pak?. Baiklah saya telah mendapatkan idenya pak. Terimakasih atas pujiannya pak, saya hanya berusaha menjadi seorang motivator yang profesional pak. Baik pak. Wassalamualaikum.”

***

                “Yap, anak-anak, apakah kalian tahu apa yang akan terjadi ‘Ketika Impian Datang Disertai Harapan’?”
                Rara mendengar suara yang sangat dikenalnya. Suara sahabatnya. Apakah mungkin? Terbersit di pikirannya, apakah Ana telah menjadi seorang motivator? Dan sekarang menjadi motivator di acara sekolah yayasan amal miliknya itu?

***

                “Yap benar, Impian dan Harapan adalah dua kata yang saling memperngaruhi satu sama lain.” Ana mengakhiri acara motivasinya hari ini.
                Ana tidak yakin, tetapi ia mendengar bahwa memilik yayasan itu adalah Harapan. Apakah itu Harapan-nya? Apakah mungkin ia bertemu lagi dengan Rara? Ia telah tidak dapat mengkontak Rara lagi sejak 2 tahun yang lalu, entah mengapa. Akhirnya Ana bertekad, mencari tahu apakah pemilik yayasan itu Harapan yang ia kenal atau tidak.

***

                “Harapan? Rara?” Panggil Ana ketika melihat siluet seorang wanita sukses beberapa meter di depannya.

***

                Rara tidak mungkin salah dengar, ia mendengarnya. Suara milik Impian, Ana. “Ana? Impian?” gumamnya.

***

                Ana tersenyum, itu Rara-nya. “Ra! Gila lo udah sukses yah sekarang! Ganyangka gue bakal ketemu lo lagi!”
                “Ana? Lo beneran Ana? Astaga! Ciee, mimpi lo udah jadi kenyataan yah!”
                “Mimpi lo juga kali! Impian gue gabakal jadi kenyataan tanpa harapan yang elo berikan ke gue Ra.”
                “Gue juga An!”


--THE END--


Thanks for reading!
I hope you'll like it.

xoxo,
-Risma

No comments:

Post a Comment