STUCK IN YOUR
EYES: FOUND YOU
(
#StuckInYourEyes1 )
Made by
@Rismafebst
Part 2
“A Paper In The
Locker”
*So sorry for
make you all waiting so longL Happy Reading gals and guysJ*
“TREETTT… TREETTT…”
‘Today, the first lesson is my favorite
lesson, Music!’ Batin Riccie yang melangkah masuk ke dalam music room
sekolahnya itu.
Guru music Riccie memasuki ruangan, Ms.
Santana. Guru yang paling Riccie sayang. Panutan bagi Riccie. “Gmorning class.
My class is ur first class today, isn’t it? So, to make you all a little
cheering up. Ms. Valley come here and play ur guitar and show us ur wonderful
voice” Kata Ms. Santana.
Riccie segera mengambil gitar dan mulai
memetik senar demi senar gitar itu dengan sebuah permainan tangan yang
menajubkan. Membuat seluruh indra pendengaran di kelas itu terbuai oleh
lantunan nada nada dari lagu ‘A Thousand Years’ by Christina
Perri.
N.P. A Thousand Years by Christina Perri
“Heart beats fast. Colors and promises. How to be brave. How can I love when I'm afraid.
To fall….” Suara Indah Riccie memenuhi ruangan itu. “But watching you stand alone. All of my doubt. Suddenly goes away somehow. One step closer…” Sungguh, suara itu bagaikan
suara seorang malaikat.
“I have died everyday waiting
for you. Darling don't be afraid. I have loved you for a Thousand years. I'll
love you for a Thousand more.” Suara Riccie mengimbangi petikan-petikan magis
lantunan-lantunan nada bagian reff lagu tersebut.
*otherside*
"Time stands
still beauty in all she is. I will be brave. I will not let anything. Take
away.” Dentingan-dentingan nada-nada itu diiringi oleh suara seorang lelaki.
”What's standing in front of me. Every breath, every hour has come to this. One step closer…” Jari-jari ajaibnya terus menari sebuah tarian
indah di atas tuts-tuts piano itu.
“I have died everyday. Waiting for you. Darling
don't be afraid. I have loved you for a Thousand years. I'll love you for a
Thousand more.” Yah, lelaki
itu seorang superstar berumur 15 tahun (khusus di story ini dibikin 15 tahun
yah) itu. Brown eyes milik lelaki itu tidak memancarkan sinar seakan ia
bahagia. Tidak, ia tidak bahagia. Ia sedang meratapi nasibnya…
*otherside*
“And all along I believed. I
would find you. Time has brought. Your heart to me. I have loved you for a Thousand years. I'll love you for a Thousand more.” Riccie
menutup matanya. Dan sepersekian detik ia mendengar lantunan piano memainkan
nada yang sama dan selaras. Tapi bagaimana bisa? Iakan sedang bermain gitar.
Dan ugh, dia tak pernah bisa bermain piano. Tapi permainan piano yang dia
dengar entah darimana, lantunan itu membuatnya… bahagia. “One step closer. One
step closer…”
*otherside*
“I have died everyday. Waiting for you. Darling don't
be afraid, I have loved you for a Thousand years. I'll love you for a Thousand
more.” Lelaki itu masih meratapi nasibnya. Ia kembali mengingat sejarah
hidupnya, mantan-mantannya. Orang-orang yang telah membuatnya mengecap
bagaimana rasanya patah hati.
“And all along I believed. I would find you. Time
has brought. Your heart to me. I have loved you for a Thousand years. I'll love
you for a Thousand more.” Kemudian ia mendengar. Petikan gitar. Tapi petikan
gitar itu tidak seperti petikan gitar pada umumnya. Tapi diakan sedang bermain
piano di rumahnya? Siapa yang sedang bermain gitar? Kakaknya, Tanner, kah? Tapi
kakaknya itu sedang kuliah. ‘Weird’ batinnya.
“Greyson! Come here! Your manager is here”
Panggilan itu merebut perhatiannya dari petikan gitar tadi.
*otherside* #Skip
to: the end of music class
Riccie
melangkahkan kakinya menuju lockernya. Bisa dibilang tempat sampahnya, mungkin.
Karena di dalam sana isi locker itu bagaikan kapal titanic yang karam.
Sebuah kertas
melayang ketika Riccie membuka lockernya.
Wait for me:D
–Joel
‘Joel, ada-ada
saja’ pikir Riccie yang segera mengambil buku pelajaran selanjutnya dan menutup
lockernya. The day must go on, just enjoy.
#Skip to:
After school
‘Huh, joel
latihan lama gilak-_- lagian kenapa minta ditungguin coba.’ Gerutu Riccie dalam
hati. Jadilah ia menunggu Joel latihan basket sore itu. Padahal latihan ekskul
dance club yang diambil Riccie saja sudah selesai dari tadi.
Akhirnya
seorang yang ditunggu-tunggu datang juga. Masih dengan seragam basket dan
capnya, serta tas dan handuk yang tergantung di kedua pundak pemuda itu.
Pemandangan ini mungkin yang ditunggu-tunggu para gadis di JAMS. Para pemuja
seorang Joel. Tapi bukan apa-apa selain pemandangan sehari-hari bagi Riccie.
Tidak ada reaksi seperti detak jantung yang berdesir cepat seperti
teman-temannya. Riccie sering bertanya-tanya, apa arti dari detak jantung yang
berdesir cepat? Apakah itu… cinta? Kenapa para gadis di JAMS dengan gampangnya
jatuh cinta? Aneh.
‘Ugh, Love is
a bullshit’ Batin Riccie. Yap, menurut Riccie tak ada waktu yang perlu
disia-siakan untuk cinta. Riccie tak pernah merasakan yang namanya cinta. Ia
tidak pernah mengalami kejadian seperti detak jantung yang berdesir cepat.
Hidup Riccie selama ini bisa dibilang hanya… datar. Tanpa rasa, hampa, tak ada
yang mengisi. Selama ini tak ada waktu baginya untuk mengurusi urusan ‘cowok’.
Yang Riccie pikirkan hanyalah Have Fun With Lita and Hani dan juga Good Grades
In School. ‘Siapakah yang butuh cinta? Cinta hanyalah sebuah kebohongan belaka.
Seseorang jatuh cinta? Kemudian pacaran? Kemudian berciuman? Kemudian putus?.
Sisa yang tertinggal hanyalah perasaan dipermainkan dan kehilangan.’ Sudah
cukup kehilangan yang dialami Riccie tanpa perlu ditambah kehilangan karena
cinta.
Kekosongan itu
sampai sekarang masih belum terisi. Bahkan dengan wanted boy di JAMS yang
menyandang status sebagai sahabat dekatnya, Riccie masih tak bisa merasakan apa
itu rasanya jatuh cinta.
“Hey, what ya
doin’ here Riccie?” Sapa Joel santai.
“Loh? How can
you ask me that question? You ask me to be here! And you know what? I rejected
to go home with Lita and Hani!” Jawab Riccie jengkel.
“Am I ask
you?” Tanya Joel bingung.
“That paper
that you gave to me. I found it in my locker.” Jawab Riccie setengah sabar.
“Oh, that’s
why. Well, It’s not what I
mean. But after that, let’s go home together.” Ajak Joel.
“Okay, let me take my skateboard first.”
Setuju Riccie.
Rumah Riccie memang bersebelahan. Malahan,
balkon kamar Riccie dan balkon kamar Joel tepat berhadapan satu sama lain.
Membuat Riccie ingat akan video clip dari ‘You Belong With Me’-nya Taylor
Swift. Tapi Riccie dan Joel tak akan pernah menjadi seperti Lucas Till dan Taylor
Swift di video itu.
Joel dan Riccie sudah siap dengan skateboard
masing-masing. Menempuh jalan asri dengan suasana spring yang sebentar lagi
berganti summer menuju kawasan rumah mereka di Ocean Ave, Santa Monica, LA, CA.
Perjalanan dari 16th street menuju Ocean Ave memang tidak bisa
dibilang dekat. Namun itu terasa sangat dekat apabila diselingi oleh canda tawa
sahabatnya.
Di perjalanan Riccie menyadari satu hal.
Walaupun ia tidak mencintai Joel, tetapi ia membutuhkan Joel. Tak bisa
dibayangkan apabila tidak ada Joel disisinya dan mengisi harinya dengan canda
tawa. Riccie bingung, apakah ia harus mulai menerima Joel lebih dari sahabat?
Apakah kabar yang beredar di sekolah itu benar? Bahwa Joel menyayanginya lebih
dari sahabat? Entahlah. Riccie tak mau ambil pusing.
“Finally, we’re arrived. Bye, beauty.” Bacotan
Joel menyadarkan Riccie.
“yeah, bye.” Jawab Riccie seadanya dan segera
memasuki rumahnya yang bergaya Tropis Mediterania itu.
Rumahku, Istanaku, Surgaku. Yang Riccie cintai
dari rumah itu adalah nuansa Tropis Mediterania yang mengingatkannya kembali
akan hometownnya, Indonesia. Lokasinya yang berada di Ocean Ave, Santa Monica,
Los Angeles, California memang lokasi yang menabjubkan. Selain memiliki akses
mudah dengan West Hollywood alias Beverly Hills, rumah Riccie pun menyujukan
pemandangan yang amat sangat breath-taking!. Bayangkan saja, tepat sekali di
hadapan rumah Riccie terbentang luas Santa Monica State Beach Park!. What a
scenic view! Itulah yang membuat Riccie menyayangi rumahnya ini.
Seperti biasa, Riccie disambut oleh Mbok Ijah.
Tak ada ayahnya yang menyambutnya. Rumah itu begitu sepi. Tapi Riccie
menikmatinya.
Riccie menaiki anak tangga demi anak tangga
menuju kamarnya itu. Ruangan yang paling disayanginya di dunia ini. Tempatnya
tertawa dan menangis. Menemaninya melewati dinginnya malam, repotnya pagi,
panasnya siang, dan sepinya sore. Kamar Riccie ini merupakan kamar khas anak
tomboy yang rapi. Tidak ada satupun poster di dindingnya. Yang ada hanyalah
wallpaper biru laut yang warnanya sama seperti matanya. Dan juga ribuan photo
menabjubkan hasil potretannya sendiri.
Riccie berjalan menuju balkon dan bertemu mata
dengan Joel. Mereka bertegur sapa sebentar sebelum Riccie pergi meninggalkan
Joel. Riccie kembali berjalanan. Menuju salah satu jendela kamarnya yang
mengarah ke arah laut. Ke arah Santa Monica Beach. Arah yang menentramkannya.
Riccie kembali berjalan dan menyibakkan tirai jendela di salah satu sudut yang
menampilkan pemandangan halaman belakangnya. Kolam renang tercintanya terpampang
di penglihatannya. Dan Riccie tergoda oleh ayunan yang langsung menghadap pool
di bawah pohon rindang di backyard rumahnya itu. Spot kesukaannya!
Riccie yang sudah berganti baju dengan celana
selutut dan kaos putih santainya, penampilan santai namun sangat chic untuk
Riccie. Ia mengambil sejumlah snickers dan terduduk di ayunan besar itu. Ayunan
itu cukup besar sehingga kadang Riccie sering tertidur di sana.
Yah, beginilah kesehariannya di rumah.
Sendirian. Kadang bila Mbok Ijah tidak sibuk ia menemani Riccie. ‘Ayahnya yang
gilak kerja itu mana perduli dengannya’, pikirnya.
Amarahnya terhadap ayahnya membawa Riccie
menuju alam mimpi. Menyajikan ribuan nightmares yang menunggunya.
***
Sorot matahari mulai mengintip di balik garis
pantai Santa Monica. Riccie tersentak bangun dan terlepas dari nightmares
kurang ajar yang menghantui tidurnya.
Ia masih berada di tempat yang sama dan posisi
yang sama. Dan masih juga memegang snickers yang semalam dimakannya. ‘Ayahnya
yang tidak perduli dengannya pasti tak mau repot-repot memindahkannya’,
pikirnya.
Sepi, ia butuh seseorang yang mengobati
sepinya. Bukan ayahnya dan Joel. Riccie memang merasakan sesuatu terisi apabila
berada di dekat sahabat-sahabatnya, Hani dan Lita. Tapi sepi itu masih ada di
sekitarnya.
Ugh, mood Riccie memang tidak bagus untuk
memulai hari ini. Riccie beranjak ke kamarnya dengan malas dan bersiap-siap ke
sekolah. Toh, ayahnya pasti sudah berangkat kerja.
#Skip to: Lunch Time at School
“Shttt, Joel!” Bisik Riccie yang meninggalkan mejanya
bersama Lita dan Hana dan mendekati meja Joel.
“Hey, what’s the matter Ric?” Senyum Joel
mengembang melihat Riccie yang menghampirinya.
“Let’s sneak out!” Ajak Riccie. Aduh,
RiccieRiccie-_-”
“Why?” Tanya Joel.
“Bad mood. Don’t worry, I got math class after
this. I already have done with the lesson.” Jawab Riccie. Riccie memang
menguasai matematika. Pelajaran yang paling dikuasai dirinya kedua setelah
music.
“And then, what we gonna do?” Tanya Joel lagi.
“How about skateboarding?” Tanya Riccie balik.
Joel tampang berfikir, “Sounds interesting.
Okay then.” Joel membuat keputusan.
Hayoloh, si Riccie sama Joel mau pada madol bareng._.
Oh iya saye lupa bilang, di story ini Greysonnya umurnya 15 tahun
yeh.
Thanks for readingJ
Don’t forget to put your feedback okay?
Sincerely,
-Risma ‘kamseupil’


No comments:
Post a Comment