Antara Realita dan Ilusi
Karya Risma Nurfitri
*Kemarin
cerpen ini menang lomba cipta cerpen. Dan aku mau ngeshare cerpen ini di blog
ini. Soalnya kemaren juga ada janji setelah lomba mau ngeshare ceritanya. Memang
kata-katanya rada beda sama yang aku lombain. Soalnya rada lupa._.V Tapi jalan
ceritanya sama kokJ Happy
Reading Gurls and Guys*
“Sampai jumpa, Realita.” Sapa salah satu teman sekelasku
dengan memanggil nama lengkapku. Aku membalasnya dengan senyuman dan segera
memasuki rumahku.
Aku membuka pintu rumahku yang selalu membuatku aman setiap
kali aku menyentuhnya. Ku langkahkan kakiku memasuki rumah ketika suara
familiar memanggil namaku.
“Lita, akhirnya kamu pulang juga. Cepat bereskan kamarmu
nak. Kamu ini sudah perawan kamarnya masih berantakan kayak kapal pecah aja.”
Omel ibuku. Dan apa yang aku bisa? Tentu menuruti perintahnya. Itulah bakti
seorang anak kepada ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, bukan?.
***
Dan di sinilah aku, bergulat dengan berbagai macam barang
yang kadang aku tak tahu kenapa itu bisa ada di dalam kamarku. “Benar kata ibu,
kamarku bagaikan kapal titanic yang hancur
menabrak karang.” Keluhku lelah.
Tetapi disaat aku berniat mengambil napas sejenak dengan
duduk di kursi lembut di kamarku, perhatianku tertuju pada benda itu. Sebuah
album foto kecil berwarna ungu yang lebih mirip buku harian daripada album
foto. Tapi sesungguhnya itu bukanlah hanya sebuah album foto mungil.
Aku mengambil album itu, membaca tulisan yang tertera di
sampulnya. ‘Antara Realita dan Ilusi’ tertulis dengan tulisan yang rapi,
tulisanku. Dan di sudut terdapat tulisan berantakan yang mirip cakar ayam, tapi
aku selalu bisa membaca tulisan ini, ‘susah dibedakan!’, tulisan ini milik Lusi
seorang.
Aku membuka album itu…
***
Tampak jelas di sisi kiri terdapat fotoku yang mengenakan
seragam putih biruku dengan dasi bintang 1. Itu aku saat masih duduk di kelas
7.
Sisi kiri bukanlah masalah, tetapi sisi kananlah yang
membuatku menggenggam album foto itu lebih erat. Foto seorang gadis dengan
kacamata yang bertengger di sekitar matanya. Tersenyum lebar menghadap ke
kamera. Itu… Ilusiku.
Ilusi… Ilusi… nama
itu terus berputar-putar dan menari-nari tarian rindu di kepalaku. Rinduku
kepada sosok sahabatku itu, Lusi.
Saat aku membuka lembaran selanjutnya aku terjatuh dalam
pesona kenangan dari album ungu itu. Kenangan demi kenangan itu membawa
pikiranku terbang. Dan menciptakan sebuah ilusi yang bisa saja menipuku…
***
Lembaran pertama berisi foto pertama…
Dua orang gadis yang memakai name tag di leher mereka sedang tersenyum kepadaku atau kepada
kamera saat foto ini diambil. Pikiranku menerawang, menampilkan sepotong demi
sepotong kenangan saat aku pertama kali bertemu dengan Lusi.
Seorang gadis menghampiri bangkuku dan duduk di sana.
Sungguh, penampilanku yang memalukan di hari yang memalukan saat pertama masuk
ke SMP mungkin membuatnya bungkam dan tidak bicara. Tapi aku
tak pernah menyangka gadis yang duduk di sampingku akan menjadi sahabat terbaik
yang pernah aku punya di seluruh detik di hidupku.
Aku membuka lembaran kedua yang menampilkan foto kedua…
Nuansa buku-buku tebal dan rak buku penuh debu langsung
terasa ketika aku melihat foto itu. Di foto itu dua orang gadis dengan berbagai
buku di depan mereka. Mencoba mengungkap sedikit misteri masa depan dengan
terus menimba ilmu sebisa mereka.
Lembaran selanjutnya, foto ketiga…
Sebuah celengan ayam dari tanah liat terpampang di depan
mataku. Tapi bagiku ayam di foto itu bukan sekedar benda mati. Tapi ayam itulah
yang menuntunku menuju masa depan yang penuh misteri. Mengingatku untuk
menabung setiap hari untuk bekalku nanti. Dan tentu seperti ayam-ayam lainnya,
membangunkanku saat fajar untuk memulai bagian kecil dari hidupku yang disebut
hari.
Sebenarnya dari celengan inilah kami berdua membeli album
foto ini. Hanya beberapa rupiah saja, kami menciptakan suatu kekuatan yang kuat
bahkan sampai bisa menyiksa. Kekuatan itu adalah kenangan.
Aku membalik ke halaman selanjutnya…
Satu gadis dengan sapu dan yang satu lagi dengan plastik
sampah. Tak ada raut lelah di kedua wajah itu. Yang ada hanyalah senyum mereka
yang mengembang seperti bunga yang bermekaran. Walaupun mereka hanya melakukan
hal yang kecil. Hal kecil yang disebut kerja bakti. Suatu perwujudan dari
gotong royong. Dan bentuk lain dari solidaritas.
Foto kelima…
Titik fokus dari foto itu ada pada seorang bayi mungil yang
baru tujuh bulan bernapas di bumi ini, itu adikku. Bayi itu digendong oleh dua
kekuatan. Kekuatan Realita dan kekuatan Ilusi.
Seingatku, upacara nujuh bulan adik kecilku itu berlangsung
dengan sangat seru. Aku dan Lusi berlarian kesana kemari walaupun kami tahu
kami sudah cukup besar untuk melakukan itu.
Tak
tahu bagaimana bisa, tapi aku merasa aku bisa mendengar tawa Lusi di telingaku.
Tapi aku tahu, itu bukan Ilusiku tapi hanya Ilusi belaka.
Lembar selanjutnya…
Aku dan Lusi di acara ‘abang&none’. Tunggu dulu, jangan
salah paham, kami bukannya salah satu finalis. Kakak perempuan Lusilah
finalisnya. Kami berdua hanya sebagai penonton.
Kami memakai kebaya dengan jalinan payet rumit nan cantik.
Bagiku, baju yang kami pakai itu seperti bersinar. Tetapi bukan memancarkan
kecantikan seperti layaknya sebuah baju. Menurutku, kami berdua memancarkan
sinar kemurnian. Sebuah kemurniaan jalinan persahabatan yang kami jalin.
Aku membuka lembar selanjutnya…
“Oh tidak, jangan foto ini…” desahku lelah.
Foto itu, foto aku dan Lusi sedang berpelukan erat. Tersenyum
manis mengantarkan kebahagiaan diantara mereka. Foto itu seakan mengatakan ‘Kami
tidak terpisahkan!’.
Kenangan
manis yang bila dikenang menjadi menyakitkan. Yap, itu definisi dari foto itu.
Karena di foto itu Lusi memakai kalung liontin perak itu... Dan kalung itulah yang membuat kami terpisahkan menjadi dua wujud yang bertolak belakang.
***
Aku tersentak, tenggelam, dan
basah. Tapi bukan oleh air. Melainkan oleh kenangan itu sendiri.
Pikiranku melayang dan membara seperti layaknya meteor.
Kembali ke kejadian itu. Kejadian yang memisahkan kami berdua. Hanya karna
seseorang bernama Paras.
“Kalungku tidak
mungkin menemukan jalannya sendiri ke dalam tasmu! Pasti
tanganmu lah yang menunjukan jalannya!”
Teriak Lusi yang mulai meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya. Aku tahu
apa persisnya kalung liontin itu. Satu-satunya peninggalan mendiang almarhum
ibu Lusi. Dan aku tahu betapa pentingnya itu bagi Lusi.
“Tapi aku bersumpah Lusi! Aku tidak tahu bagaimana kalungmu
bisa ada di tasku. Aku tidak pernah ada niat untuk mencurinya. Kamu percaya
sama aku bukan? Kamu masih sahabatku bukan?” Aku mulai meminta. Memegang erat
tangan Lusi.
Sekilas aku melihat, seringai jahat yang diberikan Paras
kepadaku. Dan saat itu aku tahu satu hal, ini rencananya. Aku memang sering
melihat tatapan dingin Paras setiap aku tertawa bersama Lusi. Tapi berbuat
seperti ini? Itu hal terakhir yang aku pikirkan dapat ia lakukan.
“Apa salahku, Realita?” Tanya Lusi dengan tatapan dingin.
Tatapan dingin itu seakan membekukanku dan membuatku bungkam. Dan Lusi berbalik
dan meninggalkanku. Dan pergi bersama Paras. Secara tak langsung memutuskan tali jalinan erat yang telah kita buat. Dan tali jalinan yang telah ku buat itu berbalik menyerang dan mengikatku
erat sekarang. Dan membuat Lusi menjauh. Jauh dan semakin jauh. Hingga
tak dapat aku raih lagi.
“Kau tak salah apa-apa, Ilusi.” Ucapku lemah. Lusi berhenti
sebentar sebelum berjalan keluar dari kelas. Apakah dia mendengarku? Tapi jauh
di dalam hatiku aku tahu, dia mendengarku.
***
Setetes cairan bening terjatuh di lembaran kosong album itu. Foto ketujuh itu adalah foto terakhir sekaligue kenangan terakhir di album ini. Sisanya, album ini hanyalah lembaran kosong tanpa foto dan tanpa… kenangan.
***
Masih menempel erat dengan lem super kuat di ingatanku apa yang terjadi setelah kejadian itu. Tentu saja, aku kehilangan Ilusiku.
Lusi tidak
pernah menghiraukanku. Lusi tidak pernah menganggapku ada. Dan tak juga
menganggapku hidup. Aku tidak tahu kenapa Lusi bisa secepat itu melupakan semua
yang telah kita lakukan. Melupakanku sebagai… sahabatnya. Maaf, melupakanku
yang pernah menjadi sahabat sejatinya.
Ilusiku menjauh
dariku. Bahkan menatap mataku pun saja Ilusiku enggan melakukannya.
***
Racun yang telah ditaburkan Paras bekerja dengan baik. Upss, dengan sangat baik malah. Sehingga racun itu bisa menghempasku dari hidup sempurnaku dan menghancurkan diriku.
Tapi aku
bertanya-tanya, apakah racun itu membunuh Lusi juga?. Aku tahu jawaban dari
pertanyaanku itu, iya. Karena racun
itu juga membunuh senyum Lusi.
Berupa apakah
racun yang ditaburkan Paras? Sampai matipun aku akan penasaran akan jawaban
pertanyaan itu.
***
Antara realita dan ilusi memang memiliki perbedaan yang sangat tebal. Tetapi juga memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Mereka saling mempengaruhi. Realita yang pahit menciptakan ilusi yang manis, dan juga sebaliknya.
Kadang
kita ingin tetap hidup dalam ilusi tapi kita harus mengakui kita hidup dalam
realita. Dan kadang dalam sebuah ilusi
kita ingin kembali ke dalam realita.
Begitulah
kerja mereka. Susah dibedakan! Namun perbedaannya bisa di rasakan.
Dan kekuatan antara realita dan
ilusi akan menjebakmu, menipumu, menyesatkanmu, dan menghancurkanmu. Seperti
yang telah dilakukannya kepada Realita dan Ilusi, aku dan Lusi.
***
“Tinggalkan ilusimu dan kembalilah kepada realita, Realita” Aku tersadar dari ilusi yang memabukkanku.
Jujur, aku ingin sekali mencoba sesuatu untuk membawa
ilusiku ke dalam realita hidupku. Tapi sudah terlambat untuk mencoba
memperbaiki kerusakan yang ada dan mencoba mengulang semua kenangan yang telah
menjadi ilusi itu kembali ke realita yang ada.
Karena kini Ilusi telah berada di sisi… Yang Maha Kuasa.
Kecelakaan itu
merenggutnya pergi dari realita dunia dan mengembalikannya kepada ilusi akhirat
itu sendiri.
Akhirat.
Ilusi yang menyimpan misteri paling besar. Dan tempat dimana
Ilusiku, sahabatku,
berada sekarang.
TAMAT
^.^
-----------------------------------------------
Feedbacknya ditunggu yah kawand:D
Ciee,,udah di post nih ceritanya.Asyik!!!
ReplyDelete#nas
Makasih supportnya:)
Deleterisma, lu buat cerita kenapa keren banget sih. cocok banget jadi jurnalis lu :D
ReplyDelete