Risma's few words

Please visit http://www.wattpad.com/Rismafebst for other story from this blog's owner.


As long as I know. There is two different story in our life. One is dream, and other is reality.

Dream. Everyone have, I mean, everyone must have a dream. It's like the goal of our life. What we are fighting for. What we are dying for. But sometimes, a dream can be hard and hurt. It's depend on reality.

Reality. This is what people scare about. The truth. What we are living now. But you know what? Reality can be better than our dream as long as we are never give up on it. So yeah, it's depend on are we believe in our dream or not.

But in here, I'm gonna show you that we can have both of them. Yeah, you probably right. This is why this page called 'a place for dream and reality'.

How? You may ask?

I'll answer you with 'do you know how much word have a power of you? how a single story can change you?'

So, I, Risma as this blog's owner, will write you that story.

And I will be grateful if you read this. Thank you to waste your time reading my story. I really appreciate it.

Wednesday, June 13, 2012

Antara Realita dan Ilusi



Antara Realita dan Ilusi
Karya Risma Nurfitri




*Kemarin cerpen ini menang lomba cipta cerpen. Dan aku mau ngeshare cerpen ini di blog ini. Soalnya kemaren juga ada janji setelah lomba mau ngeshare ceritanya. Memang kata-katanya rada beda sama yang aku lombain. Soalnya rada lupa._.V Tapi jalan ceritanya sama kokJ Happy Reading Gurls and Guys*




          “Sampai jumpa, Realita.” Sapa salah satu teman sekelasku dengan memanggil nama lengkapku. Aku membalasnya dengan senyuman dan segera memasuki rumahku.
          Aku membuka pintu rumahku yang selalu membuatku aman setiap kali aku menyentuhnya. Ku langkahkan kakiku memasuki rumah ketika suara familiar memanggil namaku.
          “Lita, akhirnya kamu pulang juga. Cepat bereskan kamarmu nak. Kamu ini sudah perawan kamarnya masih berantakan kayak kapal pecah aja.” Omel ibuku. Dan apa yang aku bisa? Tentu menuruti perintahnya. Itulah bakti seorang anak kepada ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan, bukan?.

***

          Dan di sinilah aku, bergulat dengan berbagai macam barang yang kadang aku tak tahu kenapa itu bisa ada di dalam kamarku. “Benar kata ibu, kamarku bagaikan kapal titanic yang hancur menabrak karang.” Keluhku lelah.
          Tetapi disaat aku berniat mengambil napas sejenak dengan duduk di kursi lembut di kamarku, perhatianku tertuju pada benda itu. Sebuah album foto kecil berwarna ungu yang lebih mirip buku harian daripada album foto. Tapi sesungguhnya itu bukanlah hanya sebuah album foto mungil.
          Aku mengambil album itu, membaca tulisan yang tertera di sampulnya. ‘Antara Realita dan Ilusi’ tertulis dengan tulisan yang rapi, tulisanku. Dan di sudut terdapat tulisan berantakan yang mirip cakar ayam, tapi aku selalu bisa membaca tulisan ini, ‘susah dibedakan!’, tulisan ini milik Lusi seorang.
          Aku membuka album itu…

***

          Tampak jelas di sisi kiri terdapat fotoku yang mengenakan seragam putih biruku dengan dasi bintang 1. Itu aku saat masih duduk di kelas 7.
          Sisi kiri bukanlah masalah, tetapi sisi kananlah yang membuatku menggenggam album foto itu lebih erat. Foto seorang gadis dengan kacamata yang bertengger di sekitar matanya. Tersenyum lebar menghadap ke kamera. Itu… Ilusiku.
          Ilusi… Ilusi… nama itu terus berputar-putar dan menari-nari tarian rindu di kepalaku. Rinduku kepada sosok sahabatku itu, Lusi.
          Saat aku membuka lembaran selanjutnya aku terjatuh dalam pesona kenangan dari album ungu itu. Kenangan demi kenangan itu membawa pikiranku terbang. Dan menciptakan sebuah ilusi yang bisa saja menipuku…

***

          Lembaran pertama berisi foto pertama…
          Dua orang gadis yang memakai name tag di leher mereka sedang tersenyum kepadaku atau kepada kamera saat foto ini diambil. Pikiranku menerawang, menampilkan sepotong demi sepotong kenangan saat aku pertama kali bertemu dengan Lusi.
          Seorang gadis menghampiri bangkuku dan duduk di sana. Sungguh, penampilanku yang memalukan di hari yang memalukan saat pertama masuk ke SMP mungkin membuatnya bungkam dan tidak bicara. Tapi aku tak pernah menyangka gadis yang duduk di sampingku akan menjadi sahabat terbaik yang pernah aku punya di seluruh detik di hidupku.
          Aku membuka lembaran kedua yang menampilkan foto kedua…
          Nuansa buku-buku tebal dan rak buku penuh debu langsung terasa ketika aku melihat foto itu. Di foto itu dua orang gadis dengan berbagai buku di depan mereka. Mencoba mengungkap sedikit misteri masa depan dengan terus menimba ilmu sebisa mereka.
          Lembaran selanjutnya, foto ketiga…
          Sebuah celengan ayam dari tanah liat terpampang di depan mataku. Tapi bagiku ayam di foto itu bukan sekedar benda mati. Tapi ayam itulah yang menuntunku menuju masa depan yang penuh misteri. Mengingatku untuk menabung setiap hari untuk bekalku nanti. Dan tentu seperti ayam-ayam lainnya, membangunkanku saat fajar untuk memulai bagian kecil dari hidupku yang disebut hari.
          Sebenarnya dari celengan inilah kami berdua membeli album foto ini. Hanya beberapa rupiah saja, kami menciptakan suatu kekuatan yang kuat bahkan sampai bisa menyiksa. Kekuatan itu adalah kenangan.
          Aku membalik ke halaman selanjutnya…
          Satu gadis dengan sapu dan yang satu lagi dengan plastik sampah. Tak ada raut lelah di kedua wajah itu. Yang ada hanyalah senyum mereka yang mengembang seperti bunga yang bermekaran. Walaupun mereka hanya melakukan hal yang kecil. Hal kecil yang disebut kerja bakti. Suatu perwujudan dari gotong royong. Dan bentuk lain dari solidaritas.
          Foto kelima…
          Titik fokus dari foto itu ada pada seorang bayi mungil yang baru tujuh bulan bernapas di bumi ini, itu adikku. Bayi itu digendong oleh dua kekuatan. Kekuatan Realita dan kekuatan Ilusi.
          Seingatku, upacara nujuh bulan adik kecilku itu berlangsung dengan sangat seru. Aku dan Lusi berlarian kesana kemari walaupun kami tahu kami sudah cukup besar untuk melakukan itu.
Tak tahu bagaimana bisa, tapi aku merasa aku bisa mendengar tawa Lusi di telingaku. Tapi aku tahu, itu bukan Ilusiku tapi hanya Ilusi belaka.
          Lembar selanjutnya…
          Aku dan Lusi di acara ‘abang&none’. Tunggu dulu, jangan salah paham, kami bukannya salah satu finalis. Kakak perempuan Lusilah finalisnya. Kami berdua hanya sebagai penonton.
          Kami memakai kebaya dengan jalinan payet rumit nan cantik. Bagiku, baju yang kami pakai itu seperti bersinar. Tetapi bukan memancarkan kecantikan seperti layaknya sebuah baju. Menurutku, kami berdua memancarkan sinar kemurnian. Sebuah kemurniaan jalinan persahabatan yang kami jalin.
          Aku membuka lembar selanjutnya…
          “Oh tidak, jangan foto ini…” desahku lelah.
          Foto itu, foto aku dan Lusi sedang berpelukan erat. Tersenyum manis mengantarkan kebahagiaan diantara mereka. Foto itu seakan mengatakan ‘Kami tidak terpisahkan!’.
Kenangan manis yang bila dikenang menjadi menyakitkan. Yap, itu definisi dari foto itu.
Karena di foto itu Lusi memakai kalung liontin perak itu... Dan kalung itulah yang membuat kami terpisahkan menjadi dua wujud yang bertolak belakang.

***

          Aku tersentak, tenggelam, dan basah. Tapi bukan oleh air. Melainkan oleh kenangan itu sendiri.
          Pikiranku melayang dan membara seperti layaknya meteor. Kembali ke kejadian itu. Kejadian yang memisahkan kami berdua. Hanya karna seseorang bernama Paras.
          “Kalungku tidak mungkin menemukan jalannya sendiri ke dalam tasmu! Pasti tanganmu lah yang menunjukan jalannya!” Teriak Lusi yang mulai meneteskan cairan bening dari pelupuk matanya. Aku tahu apa persisnya kalung liontin itu. Satu-satunya peninggalan mendiang almarhum ibu Lusi. Dan aku tahu betapa pentingnya itu bagi Lusi.
          “Tapi aku bersumpah Lusi! Aku tidak tahu bagaimana kalungmu bisa ada di tasku. Aku tidak pernah ada niat untuk mencurinya. Kamu percaya sama aku bukan? Kamu masih sahabatku bukan?” Aku mulai meminta. Memegang erat tangan Lusi.
          Sekilas aku melihat, seringai jahat yang diberikan Paras kepadaku. Dan saat itu aku tahu satu hal, ini rencananya. Aku memang sering melihat tatapan dingin Paras setiap aku tertawa bersama Lusi. Tapi berbuat seperti ini? Itu hal terakhir yang aku pikirkan dapat ia lakukan.
          “Apa salahku, Realita?” Tanya Lusi dengan tatapan dingin. Tatapan dingin itu seakan membekukanku dan membuatku bungkam. Dan Lusi berbalik dan meninggalkanku. Dan pergi bersama Paras. Secara tak langsung memutuskan tali jalinan erat yang telah kita buat. Dan tali jalinan yang telah ku buat itu berbalik menyerang dan mengikatku erat sekarang. Dan membuat Lusi menjauh. Jauh dan semakin jauh. Hingga tak dapat aku raih lagi.
          “Kau tak salah apa-apa, Ilusi.” Ucapku lemah. Lusi berhenti sebentar sebelum berjalan keluar dari kelas. Apakah dia mendengarku? Tapi jauh di dalam hatiku aku tahu, dia mendengarku.


***


          Setetes cairan bening terjatuh di lembaran kosong album itu. Foto ketujuh itu adalah foto terakhir sekaligue kenangan terakhir di album ini. Sisanya, album ini hanyalah lembaran kosong tanpa foto dan tanpa kenangan.


***


          Masih menempel erat dengan lem super kuat di ingatanku apa yang terjadi setelah kejadian itu. Tentu saja, aku kehilangan Ilusiku.
          Lusi tidak pernah menghiraukanku. Lusi tidak pernah menganggapku ada. Dan tak juga menganggapku hidup. Aku tidak tahu kenapa Lusi bisa secepat itu melupakan semua yang telah kita lakukan. Melupakanku sebagai… sahabatnya. Maaf, melupakanku yang pernah menjadi sahabat sejatinya.
          Ilusiku menjauh dariku. Bahkan menatap mataku pun saja Ilusiku enggan melakukannya.


***


          Racun yang telah ditaburkan Paras bekerja dengan baik. Upss, dengan sangat baik malah. Sehingga racun itu bisa menghempasku dari hidup sempurnaku dan menghancurkan diriku.
          Tapi aku bertanya-tanya, apakah racun itu membunuh Lusi juga?. Aku tahu jawaban dari pertanyaanku itu, iya. Karena racun itu juga membunuh senyum Lusi.
          Berupa apakah racun yang ditaburkan Paras? Sampai matipun aku akan penasaran akan jawaban pertanyaan itu.


***


          Antara realita dan ilusi memang memiliki perbedaan yang sangat tebal. Tetapi juga memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Mereka saling mempengaruhi. Realita yang pahit menciptakan ilusi yang manis, dan juga sebaliknya.
Kadang kita ingin tetap hidup dalam ilusi tapi kita harus mengakui kita hidup dalam realita. Dan kadang dalam sebuah ilusi kita ingin kembali ke dalam realita.
Begitulah kerja mereka. Susah dibedakan! Namun perbedaannya bisa di rasakan.
Dan kekuatan antara realita dan ilusi akan menjebakmu, menipumu, menyesatkanmu, dan menghancurkanmu. Seperti yang telah dilakukannya kepada Realita dan Ilusi, aku dan Lusi.


***


          “Tinggalkan ilusimu dan kembalilah kepada realita, Realita” Aku tersadar dari ilusi yang memabukkanku.
          Jujur, aku ingin sekali mencoba sesuatu untuk membawa ilusiku ke dalam realita hidupku. Tapi sudah terlambat untuk mencoba memperbaiki kerusakan yang ada dan mencoba mengulang semua kenangan yang telah menjadi ilusi itu kembali ke realita yang ada.
          Karena kini Ilusi telah berada di sisiYang Maha Kuasa.
          Kecelakaan itu merenggutnya pergi dari realita dunia dan mengembalikannya kepada ilusi akhirat itu sendiri.
Akhirat. Ilusi yang menyimpan misteri paling besar. Dan tempat dimana Ilusiku, sahabatku, berada sekarang.



TAMAT
^.^

-----------------------------------------------




Feedbacknya ditunggu yah kawand:D



3 comments:

  1. Ciee,,udah di post nih ceritanya.Asyik!!!
    #nas

    ReplyDelete
  2. risma, lu buat cerita kenapa keren banget sih. cocok banget jadi jurnalis lu :D

    ReplyDelete